Sistem Kliring Elektronik Di
Indonesia
Pengertian umum kliring adalah pertukaran warkat atau
data keuangan elektronik antar bank baik atas nama Bank maupun nasabah yang
hasil perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu. Penyelenggaraan
kliring di Jakarta pada awalnya dilaksanakan secara manual. Namun dalam
perkembangannya, sejalan dengan meningkatnya transaksi perekonomian nasional
khususnya di Jakarta dimana pada akhir tahun 1989 volume warkat telah mencapai
82.052 lembar warkat perhari dengan jumlah bank peserta mencapai 613 bank. Hal
ini menyebabkan penyelenggaraan kliring secara manual dirasakan tidak efektif
dan efisien lagi dan suasana pertemuan kliring yang hiruk pikuk sering kali
diibaratkan dengan suasana “pasar burung”.
Melihat kondisi tersebut, Direksi Bank
Indonesia dengan SKBI No. 21/9/KEP/DIR tanggal 23 Mei 1988, kemudian menetapkan
untuk mengubah sistem penyelenggaraan kliring lokal Jakarta dari sistem manual
menjadi sistem otomasi kliring. Meskipun demikian baru pada tanggal 4 Juni 1990
sistem otomasi dapat diimplementasikan untuk memproses kliring penyerahan.
Sementara untuk proses kliring pengembalian tetap dilakukan secara manual,
sampai kemudian pada tahun 1994 diganti dengan sistem semi otomasi yang
kemudian dikenal dengan sebutan SOKL .
Pada tahun 1996 rata-rata volume warkat
kliring Jakarta mencapai 216.911 lembar per hari, dengan pertumbuhahan
rata-rata dalam tiga tahun sekitar 6%. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya
tekanan dalam kegiatan proses warkat kliring baik di bank peserta maupun di
Bank Indonesia karena keterbatasan kemampuan sarana kliring yang ada
dibandingkan dengan peningkatan jumlah warkat kliring. Pada gilirannya
hambatan-hambatan tersebut menyebabkan terjadinya keterlambatan dalam settlement dan penyediaan informasi hasil kliring. Hal ini
berpotensi mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap bank dan merugikan
lembaga lain yang terkait serta menimbulkan efek negatif berantai (systemic risk)
Sehubungan dengan itu, sesuai acuan
pokok pengembangan sistem pembayaran nasional (Blue Print Sistem Pembayaran Nasional Bank Indonesia;1995) yang
antara lain memuat visi, kerangka kebijakan dan langkah-langkah yang perlu
dikembangkan dalam menciptakan sistem pembayaran nasional yang lebih efektif,
efisien, handal dan aman, maka pada tahun 1996 konsep penyelenggaraan kliring
lokal secara elektronik dengan teknologi image mulai
dikembangkan oleh Urusan Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia. Pada
tanggal 18 September 1998, Bank Indonesia mencatat sejarah baru dalam bidang
sistem pembayaran dimana untuk pertama kalinya di Indonesia diresmikan
penggunaan Sistem Kliring Elektronik (SKE) oleh Gubernur Bank Indonesia, DR.
Syahril Sabirin. Penerapan SKE tersebut dilakukan pada Penyelenggaraan Klring
Lokal Jakarta dimana pada awal implementasi, jumlah peserta yang ikut serta
masih terbatas 7 bank peserta kliring (BRI, BDN, BII, BCA, Deutsche Bank,
Standard Chartered, Citibank) dan 2 peserta intern dari Bank Indonesia (Bagian
Akunting Thamrin dan Bagian Akunting Kota). Keikutsertaan kantor-kantor bank
dalam Kliring Elektronik dilakukan secara bertahap sesuai dengan kesiapan
teknis masing-masing peserta. Bagi kantorkantor bank yang belum menjadi anggota
Kliring Elektronik, perhitungan kliring tetap menggunakan sistem kliring
otomasi. Implementasi Kliring Elektronik secara menyeluruh kepada seluruh
peserta kliring di Jakarta baru dilaksanakan pada tanggal 18 Juni 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar